Ben Dan dan Sha Gua


Oleh: Lea Willsen
GOH bersaudara – Ben Dan dan Sha Gua – sedari lahir dibesarkan pada keluarga yang taat beragama. Tiga generasi secara turun-temurun, keturunan mereka dipercayakan sebagai penjaga sebuah kelenteng di desa mereka. Sama seperti kakek dan ayah mereka yang mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk berada di dalam kelenteng, Goh bersaudara juga kerap menghabiskan waktu untuk berada di dalam kelenteng – mengurus segala sesuatu terkait keagamaan.
Sesepuh di desa lantas memiliki pandangan masing-masing terkait Goh bersaudara. Ada yang menyebut Goh bersaudara adalah pemuda teladan, jujur, taat beragama, dan santun dalam bertutur kata. Namun, di lain pihak, ada pula sesepuh lain yang memiliki pandangan berseberangan. Mereka menganggap Goh bersaudara terlalu banyak menghabiskan waktu di balik dinding kelenteng, mengabaikan kesempatan-kesempatan berbisnis di masa muda.
Akhir Tahun 336 SM, di suatu malam, Goh Sha Gua yang merupakan adik sekonyong-konyong bermimpi tentang seseorang yang datang mengabarinya kalau beberapa jam lagi desa kesayangan mereka akan diserang badai besar. Karena panik, Sha Gua lekas membangunkan Goh Ben Dan abangnya, kemudian menceritakan tentang mimpinya itu.
“Ah, itu pasti peringatan dari dewa!” ungkap Ben Dan penuh keyakinan.
“Dan apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Ben Dan terdiam oleh pertanyaan Sha Gua. Beberapa detik Goh bersaudara terhanyut dalam diam.
“Kita harus lekas memberitahukannya kepada penduduk desa!” seru Sha Gua secara tiba-tiba, lantas lekas bangkit dari ranjang untuk keluar mengabari penduduk desa.
Namun, jemari-jemari Ben Dan menjambak punggung kemeja adiknya. “Tunggu! Bagaimana kalau badai tidak benar terjadi?!”
“Kau yang mengatakan ini peringatan dewa, ‘kan?!”
Ben Dan mengerutkan kening. “Tidak. Manusia bisa bertindak, tetapi takdir tetap ditentukan oleh dewa. Sekarang, aku justru mencemaskan rupang dewa di kelenteng. Keluarga kita sudah tiga turunan mewarisi tugas menjaga tempat suci itu, dan jangan sampai semuanya berakhir di tangan kita.”
“Dan bagaimana dengan penduduk desa?” Alis Sha Gua terangkat.
Ben Dan lantas turut bangkit dari ranjang, kemudian mengguncang bahu adiknya. “Kau tidak juga mengerti?! Kau mendapatkan mimpi yang merupakan sebuah tugas mulia! Sekalipun kita mengabari penduduk desa tentang akan adanya badai besar, belum tentu semuanya akan mempercayai kita!”
“Selain itu apa yang bisa kita lakukan?!” Sha Gua melepaskan diri dari cengkeraman sepasang tangan abangnya. “Berdebat dan menunggu ajal tiba?!”
“Tentu tidak!” Ben Dan menghela napas dan berkacak pinggang. “Kita harus lekas menuju kelenteng, kemudian memindahkan rupang dewa ke atas gunung....”
“Ke atas gunung?!” Sha Gua terbelalak. “Rupang dewa itu berapa berat?!” tanyanya lagi dengan ekspresi keheranan.
“Ini harus kita lakukan. Dewa sedang memberi kita tugas dan menguji kita. Hanya dengan melewati ujian ini, dewa akan tersentuh dan melindungi penduduk desa....”
Tidak berargumen banyak, Goh Sha Gua pada akhirnya setuju dengan Goh Ben Dan. Keduanya pun lekas membersihkan diri di tengah malam, kemudian menuju kelenteng dengan tujuan memindahkan rupang dewa setinggi satu setengah meter itu ke atas gunung. Mereka tidak menggunakan alat apa pun yang dapat mempermudah pekerjaan itu, selain justru terikat pada dua peraturan yang membuat pekerjaan itu semakin berat.
Pertama, selama proses memindahkan rupang itu, mereka tidak boleh menyentuh benda keramat itu secara langsung, dan harus menutupinya dari pandangan siapa pun yang mungkin saja melihat aktivitas mereka. Itu tradisi yang turun-temurun di desa mereka, selain di kelenteng, tidak boleh ada tempat lain yang lebih layak untuk melihat dewa. Alhasil, di malam yang dingin, Goh bersaudara hanya mengenakan sepotong baju tipis, menggunakan sisa potongan baju lainnya untuk membungkus rupang dewa dari atas hingga bawah.
Kedua, rupang dewa itu tidak boleh diletakkan pada tanah. Praktis, begitu diturunkan dari altar, benda keramat itu selalu menempel pada punggung Ben Dan. Sementara itu, Sha Gua turut meminjamkan tenaga sepasang tangannya seraya berjaga dari belakang.
Dua jam berlalu sejak mulai berangkat dari kelenteng, Goh bersaudara sungguh kewalahan dengan napas yang naik turun tidak beraturan. Namun, mereka tetap tekun melanjutkan perjalanan. Tak peduli harus melewati sungai, mendaki tanah yang menanjak maupun berlumpur, keduanya bergerak tanpa istirahat. Gawatnya, mereka akhirnya tiba di rintangan tersulit mungkin, di mana sebuah jembatan gantung yang terbuat dari kayu menjadi satu-satunya akses untuk mencapai gunung di seberang.
Goh bersaudara saling bertukar pandang dan menelan ludah.
“Rupang dewa itu berapa berat...?” Sha Gua kembali mengulang pertanyaannya, kali ini dengan suara yang terdengar getir. Limapuluh kilo, atau bahkan tujuhpuluh kilo, tidak ada yang tahu jawaban pastinya.
“Lewati saja dengan hati-hati,” ujar Ben Dan seraya kembali melangkah maju. Sha Gua lekas turut dari belakang.
Baru lima langkah berpijak pada jembatan gantung, terdengar suara derit kayu yang tidak keruan. Jantung Goh bersaudara berdegup tiga kali lebih cepat, dengan napas yang tertahan. Ditambah angin yang sekonyong-konyong menerpa, jembatan terayun ke kiri, kemudian ke kanan, dengan gerakan serta kecepatan yang sulit diprediksi. Di tengah jembatan, Ben Dan hampir terempas ke kanan, jika bukan Sha Gua lekas menahan badan abangnya dari belakang. Malangnya, gerakan panik itu justru membuat Sha Gua sulit mengendalikan tenaga kakinya. Sang adik menderapkan langkah terlalu kuat! Dan lagi oleh beban rupang dewa yang terhuyung ke belakang, pijakan yang terbuat dari papan kayu seadanya pun jebol ke bawah. Tak sanggup mempertahankan keseimbangan, badan Sha Gua merosot ke bawah!
Grab!
Tidak, Sha Gua belum benar-benar terjatuh ke jurang! Satu-satunya harapan, ia masih sempat meraih pergelangan kaki Ben Dan!
“Abang! Lekas tarik aku!” jerit Sha Gua dengan suara tertahan.
“A-a-a-aku pasti menyelamatkanmu!” Bagaimana caranya?! Perasaan Ben Dan berkecamuk. Astaga! Apa yang harus dilakukannya untuk memenuhi kata-katanya barusan? Ia kini harus berjongkok, kemudian meraih lengan adiknya. Tetapi, dengan beban di punggung yang harus ditahan dengan kedua tangah, kemudian sebelah kaki yang dicengkeram erat oleh Sha Gua, untuk bergerak satu mili saja rasanya Ben Dan mustahil melakukannya!
Lekas turunkan rupang dewa dan selamatkan saudaramu!
Ben Dan tersentak dengan bisikan yang muncul di batinnya. Siapa yang membisikkannya? Seseorang? Tidak! Hanya ada mereka berdua! Dirinyakah?! Sekeji itukah dirinya?! Ah...! itu pasti bisikan iblis! Ya! Sedari dulu, iblis selalu bertentangan dengan dewa! Bagaimanapun ia harus tetap melindungi rupang dewa!
Raut wajah Ben Dan berubah serius. “Adik! Maaf....” Airmata mulai menggenang pada sepasangkantong mata. “Kau tidak sia-sia kehilangan nyawa. Kau mulia! Kau berkorban untuk menunjukkan ketulusanmu terhadap dewa! Pengorbananmu akan... mendatangkan pengampunan untuk penduduk desa....”
“Kakak!” Sha Gua terbelalak.
“Aku akan berjuang semampuku untuk tetap mempertahankan rupang dewa ini – kebanggaan keluarga serta desa kita – dan memindahkannya sesuai rencana kita....”
Sha Gua menggeleng panik. Apa maksud dari perkataan  Ben Dan? Tidak sia-sia kehilangan nyawa?! Berkorban untuk menunjukkan ketulusan?! Mendatangkan pengampunan untuk penduduk desa?! Dan, mempertahankan kebanggaan keluarga serta desa?! Detik-detik itu, jika memungkinkan, Sha Gua sangat ingin menjeritkan kalau ia masih ingin hidup! Bukankah terjebak dalam kondisi hidup-mati juga demi menyelamatkan abangnya?! Sayangnya, ia tak mungkin menjerit. Ia kehilangan seluruh tanaga ‘hanya’ karena terlalu lama menunggu Ben Dan menariknya naik.
Pada akhirnya, cengkeraman jemari-jemari Sha Gua kian melemah, terlepas dengan badan yang langsung terjun ke bawah jurang. Namun, ia tetap enggan memindahkan tatapannya, tetap tertuju pada Ben Dan, hingga perlahan sosok abangnya mengecil dan lenyap secara total.
Seandainya Sha Gua bertemu dengan malaikat, ia ingin menceritakan bahwa ia menyesal meninggal karena kebodohan – kebodohan yang juga telah membuat saudaranya kehilangan hati serta pikiran yang jernih, melupakan hubungan persaudaraan mereka, melupakan budinya.
Bagaimana dengan nasib Ben Dan? Apa yang terjadi dengan adiknya membuatnya berjalan semakin hati-hati. Dan ia berhasil tiba ke atas gunung dengan selamat, kemudian kembali lagi ke desanya yang tidak mengalami badai apa pun. Ben Dan lantas menceritakan kepada penduduk desa bahwa bersama saudaranya ia telah berhasil membuat dewa tersentuh akan ketulusan hati mereka, kemudian memberi pengampunan bagi desa mereka.
*
Medio April, 2017